Rabu, 13 November 2013

YAYASAN ULAYAT BENGKULU MENYATAKAN PT ALNO AGRO UTAMA TIDAK MENJALANKAN KETENTUAN RSPO DAN MEMINTA PEMERINTAH DAERAH UNTUK MENEGAKAN HUKUM TANPA PANDANG BULU

Oleh Een Irawan Putra
 
Areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Bengkulu mencapai 144.297,84 hektare. Seluas 53.399,84 ha diantaranya adalah HGU untuk Perusahaan Sawit Skala Besar, dan milik masyarakat 90.898 ha.
Pembukaan perkebunan sawit skala besar telah mendorong masyarakat Bengkulu untuk ikut beramai-ramai menanam sawit dan mengganti sawah kebun yang dimiliki dengan komoditi sawit.

Invasi perkebunan sawit secara besar-besaran di kabupaten bengkulu utara khususnya di kawasan PLG telah menyebabkan ribuan masyarakat kehilangan akses akan lahan yang mereka miliki sebagai lahan produksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga menyebabkan meningkatnya perambahan didalam kawasan hutan konservasi. ”Pelanggaran hukum” yang dilakukan oleh masyarakat dengan merambah kawasan konservasi, merupakan salah satu bentuk kegagalan pemerintah daerah dalam membuat strategi dalam mendorong ekonomi masyarakat khususnya di sekitar kawasan hutan dan perkebunan. Disisi lain Pemerintah dalam melakukan penegakan hukum (represif) tidak tegas sehingga kondisi ini justru akan membuat citra pemerintah daerah semakin turun dimata masyarakat. Salah satu bentuknya adalah peristiwa pengusiran perambah PLG Seblat 2008. Kondisi ini memang sangat dilematis dimana kepentingan konservasi harus membunuh kepentingan masyarakat akan hidup sehingga menjadi sangat penting untuk melakukan negosiasi bersama antara para pihak dalam menciptakan pembangunan dengan mengedepankan konservasi.

Di satu sisi, mayarakat terus tertindas dengan sistem yang ada sementara disisi lain pemerintah memberikan kelonggaran (konspirasi) kepada perusahaan sawit skala besar (Perusahaan Modal Asing) dalam melakukan pemanfaat wilayah.

Setidaknya Terdapat lima desa yang berbatasan langsung dengan kawasan PKG Seblat. Mayoritas masyarakat desa-desa tersebut adalah masyarakat asli suku Pekal yaitu di Desa Suka Maju, Desa Suka Merindu, dan Desa Suka Baru. Selain ketiga desa tersebut, terdapat dua desa dengan mayoritas penduduk pendatang dari suku Jawa yang juga berbatasan dengan kawasan PKG Seblat yaitu Desa Satuan Pemukiman V dan Desa Satuan Pemukiman VII.

MOU BKSDA dan PT ALNO untuk pembangunan jalan poros ini, adalah bukti nyata konspirasi dan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha (pemilik modal) asing. Ironisnya, masyarakat petani menjadi pihak yang tersingkirkan dan dicabut haknya.

PT ALNO merupakan anak perusahaan Anglo Eatearn, sebuah grup perusahaan multinasional di bidang perkebunan yang sahamnya dimiliki oleh pengusaha Inggris. Anglo Eastearn ini adalah salah satu anggota RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Sebagai anggota RSPO, Anglo Eastern harusnya menerapkan manajemen yang lestari, dan bebas dari masalah-masalah sosial dan konservasi.

Konspirasi yang dilakukan Anglo Eastern (PT ALNO) dengan BKSDA yang memotong areal konservasi gajah untuk pembangunan jalan poros. Disamping itu berdasarkan pemetaan dari tim tehnis penataan ruang propinsi bengkulu PT alno agro utama telah melakukan perambahan di dalam HPT Lebong Kandi seluas 500 ha. Ini merupakan salah satu bukti nyata bahwa PT ALNO (Anglo Eastearn) terbukti sudah melanggar ketentuan RSPO yang telah ditetapkan pada bulan oktober 2007. Dimana dalam prinsip salah satunya memuat: tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati dimana di dalamnya memuat bahwa Status spesies-spesies langka, terancam, atau hampir punah dan habitat dengan nilai konservasi tinggi, jika ada di dalam perkebunan atau yang dapat terkena dampak oleh manajemen kebun dan pabrik harus diidentifikasi dan konservasinya harus diperhatikan dalam rencana dan operasi manajamen.

Disamping itu keberadaan jalan poros yang milik PT Alno yang membelah kawasan PLG sepanjang ± 8km pada saat ini harus diakui telah banyak memberikan dampak negative daripada dampak positif yang di timbulkannya, antara lain:
1. Dengan adanya jalan poros PT Alno ini justru telah meningkatkan perambahan di sekitar kawasan hutan (HPT Lebong Kandis) yang dilakukan oleh masyarakat pendatang maupun masyarakat local.
2. Meningkatnya konflik manusia dan gajah hal ini disebabkan habitat gajah di daerah ini yang terganggu dimana daerah ini merupakan kantong gajah terakhir di propinsi Bengkulu.
3. Pemanfaatan jalan poros sebagai pintu masuk (akses) terhadap perburuan satwa langkah di wilayah PLG dan HPT Lebong Kandis.
Berdasarkan kondisi diatas yayasan ulayat Bengkulu mendesak pemerintah daerah dalam hal ini pihak BKSDA dan dinas kehutanan kabupaten Bengkulu Utara untuk meninjau kembali bahkan menutup jalan poros PT Alno Agro utama yang akan berakhir pada akhir tahun ini yang telah memutus koridor habitat gajah di PLG. Yayasan Ulayat Bengkulu berharap agar pemerintah daerah dapat menegakan UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan khususnya tentang pemanfaatan kawasan hutan serta Undang-undang perlindungan satwa liar dan habitanya sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial dikalangan masyarakat.

Suku Pekal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Pekal adalah suku bangsa yang mendiami wilayah sekitar kabupaten Mukomuko yang berada dekat perbatasan Jambi dan Sumatera Barat. Populasi suku Pekal pada sensus tahun 2000 sebesar 30.000 orang.

Sejarah

Suku bangsa Pekal berkaitan dengan mitologi suku bangsa lainnya yang dominan terdapat di wilayah perbatasan suku bangsa Pekal. Mitologi ini berkaitan dengan mitologi suku Rejang dan hikayat Raja Inderapura dari Minangkabau. Mitologi suku Rejang sendiri memiliki pertalian erat dengan hikayat-hikayat kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Kisah perjalanan Empat Petulai dari Pagaruyung menjadi bagian dari mitologi suku Rejang. Dalam mitologi tersebut terlampir mitologi keberadaan suku Pekal. Dalam satu sisi terlihat bahwa secara langsung suku Rejang mengakui orang-orang dari suku Pekal merupakan bagian dari suku Rejang di bawah Bangmego Tubui. Dari sisi lain pada dasarnya suku Pekal tidaklah dapat disebutkan sebagai bagian dari suku Rejang. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa, aturan dan nilai budaya serta struktur sosial lainnya yang sebagian mengambil tata aturan nilai budaya Minangkabau.
Pekal berasal dari kata "mengkal" yang berarti seperti buah yang belum masak, namun juga sudah tidak lagi mentah. Dapat dimaknai bahwa suku Pekal dapat juga disimpulkan merupakan bentuk mengkal dari suku Rejang dan suku Minangkabau. Tidak terlepas dari asal-mula Ketahun. Dahulu kala ada seorang raja asal Rejang Lebong mempunyai 7 orang anak. Cerita ini bermula dari anak terakhir dan satu-satunya anak perempuan yang bernama putri Rindu Bulan. Karena putrinya ini main mata dengan pemuda biasa di kerajaannya, sehingga membuat raja Rejang Lebong marah. Raja memerintahkan keenam putranya untuk membunuh putrinya tersebut. Atas perintah dari ayahnya berangkatlah enam anaknya itu, namun keenam kakaknya ini tak tega membunuh adiknya. Malah mereka membawa adik bungsunya ke pinggir sungai besar dan membuatkan sebuah rakit dari bambu dengan dibekali beras dan ayam. Maka berakitlah sang putri menelusuri sungai. Sungai ini berasal dari dua bukit yang satu itu bukit Tapus yang sungainya bermuara di muara Ketahun dan yang satunya lagi bermuara ke Jambi. Hari demi hari, minggu demi minggu bahkan berbulan-bulan hingga setahun putri Rindu Bulan menyelusuri sungai hingga rakitnya rusak di muara. Kemudian ayam yang dibawa berubah menjadi seekor elang, sedangkan beras yang dibawa tertumpah dan berubah menjadi senggugu.
Setelah rakitnya diperbaiki, putri Rindu Bulan kembali berakit hingga akhirnya sampai di pulau Pagai di daerah Padang. Kemudian ia diselamatkan oleh orang-orang di sana. Putri Rindu Bulan diberikan baju yang bagus. Karena kecantikanya, sang putri Rindu Bulan mampu memikat anak raja dari kerajaan Pagai. Kemudian dipinanglah putri Rindu Bulan dan menikahlah mereka. Di daerah asal putri Rindu Bulan, ayahnya bertanya kepada keenam anaknya. Apakah putri Rindu Bulan telah dibunuh. Tentunya keenam kakaknya menjawab tidak, karena mereka tidak tidak tega membunuh adik kandung mereka sendiri, mereka terlalu menyayanginya.
Putri Rindu Bulan kemudian mengatakan pada suaminya bahwa daerah asalnya dari daerah Rejang Lebong. Kwmudian putri Rindu Bulan dan suaminya mengutuskan untuk kembali ke Rejang Lebong. Itulah awal cerita sungai Ketahun yaitu berasal dari sungai yang dilewati oleh putri Rindu Bulan selama setahun, maka sungai itu diberi nama sungai Ketahun dan juga daerahnya yang bernama Ketahun. Ada juga riwayat lainnya mengenai asal istilah dari kata ketahun, dahulu orang belanda yang masuk kedaerah itu mengambil sumber alam yang ada di sana. Karena di sana banyak sekali harimau, maka orang belanda tersebut menyebut daerah itu Cat Town. Seiring waktu, ejaan tersebut disesuaikan dengan kebiasaan setempat, dan daerah tersebut menjadi Ketahun.

Bahasa

Bahasa suku Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang. Sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa, dan Bugis. Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada suku Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan suku Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah suku Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa Rejang. Jika mendekati wilayah budaya Minangkabau, dialeknya akan mengarah pada bahasa Minangkabau.

Budaya

Tradisi dan budaya Pekal ini banyak dipengaruhi oleh dua budaya lain seperti dari budaya Minangkabau dan budaya Rejang. Sepertinya mereka sangat mudah menyerap tradisi dan budaya dari luar, dan menerimanya menjadi bagian dari budaya mereka sendiri. Saat ini sangat susah mencari akar budaya dari suku Pekal, Karena sebagian besar mereka ambil dari tradisi dan budaya dari luar mereka.
Suku Pekal adalah pemeluk Islam secara mayoritas. Beberapa acara adat dan seni budaya mereka juga terlihat unsur Islami. Walaupun mereka telah memeluk Islam, tetapi beberapa kepercayaan terhadap hal-hal animisme dan dinamisme masih terlihat dalam kehidupan masyarakat suku Pekal. Mereka mempercayai hal-hal gaib dan tempat-tempat keramat yang konon dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan mereka.
Rumah adat masyarakat suku Pekal itu sendiri tidak berbeda dengan rumah adat dengan suku lainnya yang ada di Bengkulu, yaitu rumah panggung. Sedangkan untuk senjata suku Pekal yaitu keris, tombak, dan parang. Baik yang dianggap sebagai benda keramat dan juga digunakan sebagai senjata untuk berburu hewan serta digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang lainnya. Makanan khas dari Suku Pekal itu sambal unjang. Sambal unjang adalah makanan yang dimasak dalam bambu dan isinya ikan dicampur dengan rempah-rempah. Ikan itu dihancurkan bersamaan dengan bumbu-bumbu dan diletakkan di atas api dan di atasnya ditutup dengan daun pisang. Hampir sama dengan cara memasak lemang ataupun memasak ikan pais, namun yang membedakannya ikan pais menggunkan daun pisang kalau sambal unjang menggunakan bambu.

Mata pencarian

Masyarakat suku Pekal ini rata-rata hidup dan berprofesi sebagai petani pada perladangan dan perkebunan. Beberapa dari masyarakat suku Pekal juga telah bekerja pada sektor swasta dan sektor pemerintahan. Suku Pekal 80% mata pencariannya merupakan petani, yakni mayoritas berkebun karet dan kelapa sawit. Dari mata pencarian ini terlihat bahwa suku Pekal pada masa sekarang berada pada tingkatan peradapan pertanian. Teknik ini merupakan ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap. Ada jugamasyarakat suku Pekal yang berada di pesisir pantai yang memanfaatkan hasil laut sebagai nelayan. Ada juga sebagian dari masyarakat suku Pekal juga bekerja di tambang batu bara  dan di tambang emas rakyat di  desa Lebong Tandai yang dikenal dengan tambang emas Lebong Tandai.

Sistem kekerabatan

Sistem kekerabatan suku Pekal sangat erat antar sesama masyarakat suku Pekal. Berbeda dengan orang yang baru mereka kenal, mereka akan melihat apakah orang tersebut baik atau tidak. Jika orang tersebut baik maka mereka akan menganggap orang tersebut seperti saudaranya sendiri, namun jika kelakuan orang buruk maka mereka akan menjauhinya.

Pernikahan

Dalam adat suku Pekal, wanita itu dijujur atau dibeli oleh laki-laki, kebalikan dari adat suku Minang. Jika seorang wanita itu sebelum menikah akan dimandikan dengan uang logam dan disumpah, maka wanita itu telah dijual kepada calon suaminya dan wanita itu telah menjadi hak dari suaminya. Uang yang berasal dari pembelian adiknya tadi juga dipakai oleh kakaknya untuk membeli wanita yang akan jadi calon istrinya. Adat ini mulai hilang dan jarang lagi ditemui karena perubahan zaman.
Proses pernikahan suku pekal adalah sebagai berikut:
  1. Melamar atau baasan
  2. Biaya adat
  3. Menikah
  4. Berarak (supaya orang-orang tahu bahwa akan ada yang menikah maka acara arakan ini wajib tidak boleh ditinggalkan).
  5. Duduk di kursi di tengah laman dikelilingi oleh orang banyak dan diiringi dengan tarian pencak silat.
  6. Kembali ke pelaminan.
  7. Minum punai untuk orang yang menolong dalam menyiapkan pernikahan, yaitu pada pagi hari.
  8. Makan besak maksudnya hari puncak dengan makan-makan bersama pada sorenya.
  9. Setelah selesai acara pernikahan, besok harinya diadakan ngubak basung atau doa (balik bahasa).
  10. Adat pulang bukti gadis, ini adalah adat yang menyatakan kesediaan menerima perempuan yang dinikahi jika masih perawan. Pada adat ini sang suami memberikan seperai atau alas tidur saat malam pertama kepada ibu si perempuan sebagai tanda anaknya masih suci. Jika tidak suci lagi, sang laki-laki berhak mengembalikan anak gadisnya yang tidak dapat menjaga kesuciannya. Si lelaki berhak membatalkan pernikahan. Ini menandakan betapa tinggi masyarakat suku Pekal menganut ajaran agama Islam yang sejati.

Agama

Masyarakat suku Pekal mayoritas beragama Islam, namun masyarakat suku Pekal masih percaya terhadap roh-roh nenek moyang atau memelihara makhluk gaib seperti harimau. Menurut mereka, seorang warga Pekal yang sudah meninggal nantinya akan berubah menjadi seekor harimau. Jadi ada sebuah ritual yang dilakukan oleh masyarakat suku pekal jika sawah atau ladang mereka dirusak oleh babi. Dalam ritual tersebut masyarakat Pekal memberikan sesajen di daerah sawah atau ladang mereka yang dirusak oleh babi tersebut. Sesajen itu berapa tujuh telur ayam kampung yang diletakkan bidai (anyaman bambu) dan diiringi oleh mantera-mantera. Mereka percaya bahwa sesajen yang mereka berikan akan dimakan oleh roh-roh nenek moyang mereka. Menurut kepercayaan bahwa roh-roh nenek moyang mereka akan berubah menjadi harimau untuk mengusir babi. Setelah mereka melakukan ritual itu maka biasanya pada malamnya memang terdengar suara harimau dan itu sangat dipercayai oleh suku Pekal. Jadi, sawah atau ladang mereka tidak perlu dijaga lagi karena sudah dijaga oleh harimau. Acara keagamaan suku Pekal sama seperti acara keagamaan suku-suku lainnya yang ada di Bengkulu seperti zikir dan berdendang.

Kesenian

Ada tari gandai yaitu tarian bartautan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dari suku Pekal asli. Jika dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara berpasangan yang berasal dari suku Pekal asli maka disebut tari gandai ambat. Tarian yang dilakukan secara bergantian menunjukkan aksi dan kehebatan mereka, biasanya tari ini diiringi oleh redap, serunai, gong yang merupakan alat musik tradisional dari suku Pekal. Ada tiga jenis tarian gandai yaitu leluen, nenet, dan sementaro. Tarian gandai ini wajib ditampilkan saat pesta pernikahan, namun bisa juga ditampilkan pada saat upacara penyambutan tamu dari pejabat-pejabat atau orang penting yang datang. Lagu daerahnya yaitu berpantun

Senin, 21 Oktober 2013