Suku Pekal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah
Suku bangsa Pekal berkaitan dengan
mitologi suku bangsa lainnya yang dominan terdapat di wilayah perbatasan suku bangsa Pekal. Mitologi ini berkaitan dengan mitologi
suku Rejang dan hikayat
Raja Inderapura dari
Minangkabau. Mitologi suku Rejang sendiri memiliki pertalian erat dengan hikayat-hikayat kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Kisah perjalanan Empat Petulai dari
Pagaruyung
menjadi bagian dari mitologi suku Rejang. Dalam mitologi tersebut
terlampir mitologi keberadaan suku Pekal. Dalam satu sisi terlihat bahwa
secara langsung suku Rejang mengakui orang-orang dari suku Pekal
merupakan bagian dari suku Rejang di bawah Bangmego Tubui. Dari sisi
lain pada dasarnya suku Pekal tidaklah dapat disebutkan sebagai bagian
dari suku Rejang. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa, aturan dan
nilai budaya serta struktur sosial lainnya yang sebagian mengambil tata
aturan nilai budaya Minangkabau.
Pekal
berasal dari kata "mengkal" yang berarti seperti buah yang belum masak,
namun juga sudah tidak lagi mentah. Dapat dimaknai bahwa suku Pekal
dapat juga disimpulkan merupakan bentuk mengkal dari suku Rejang dan
suku Minangkabau. Tidak terlepas dari asal-mula Ketahun. Dahulu kala ada
seorang raja asal
Rejang Lebong
mempunyai 7 orang anak. Cerita ini bermula dari anak terakhir dan
satu-satunya anak perempuan yang bernama putri Rindu Bulan. Karena
putrinya ini main mata dengan pemuda biasa di kerajaannya, sehingga
membuat raja Rejang Lebong marah. Raja memerintahkan keenam putranya
untuk membunuh putrinya tersebut. Atas perintah dari ayahnya
berangkatlah enam anaknya itu, namun keenam kakaknya ini tak tega
membunuh adiknya. Malah mereka membawa adik bungsunya ke pinggir sungai
besar dan membuatkan sebuah
rakit dari bambu dengan dibekali
beras dan
ayam. Maka berakitlah sang putri menelusuri
sungai.
Sungai ini berasal dari dua bukit yang satu itu bukit Tapus yang
sungainya bermuara di muara Ketahun dan yang satunya lagi bermuara ke
Jambi.
Hari demi hari, minggu demi minggu bahkan berbulan-bulan hingga setahun
putri Rindu Bulan menyelusuri sungai hingga rakitnya rusak di muara.
Kemudian ayam yang dibawa berubah menjadi seekor
elang, sedangkan beras yang dibawa tertumpah dan berubah menjadi
senggugu.
Setelah rakitnya diperbaiki, putri Rindu Bulan kembali berakit hingga akhirnya sampai di pulau Pagai di daerah
Padang. Kemudian ia diselamatkan oleh orang-orang di sana. Putri Rindu Bulan diberikan
baju
yang bagus. Karena kecantikanya, sang putri Rindu Bulan mampu memikat
anak raja dari kerajaan Pagai. Kemudian dipinanglah putri Rindu Bulan
dan menikahlah mereka. Di daerah asal putri Rindu Bulan, ayahnya
bertanya kepada keenam anaknya. Apakah putri Rindu Bulan telah dibunuh.
Tentunya keenam kakaknya menjawab tidak, karena mereka tidak tidak tega
membunuh adik kandung mereka sendiri, mereka terlalu menyayanginya.
Putri
Rindu Bulan kemudian mengatakan pada suaminya bahwa daerah asalnya dari
daerah Rejang Lebong. Kwmudian putri Rindu Bulan dan suaminya
mengutuskan untuk kembali ke Rejang Lebong. Itulah awal cerita sungai
Ketahun yaitu berasal dari sungai yang dilewati oleh putri Rindu Bulan
selama setahun, maka sungai itu diberi nama
sungai Ketahun dan juga daerahnya yang bernama Ketahun. Ada juga riwayat lainnya mengenai asal istilah dari kata
ketahun, dahulu orang belanda yang masuk kedaerah itu mengambil sumber alam yang ada di sana. Karena di sana banyak sekali
harimau, maka orang belanda tersebut menyebut daerah itu
Cat Town. Seiring waktu, ejaan tersebut disesuaikan dengan kebiasaan setempat, dan daerah tersebut menjadi Ketahun.
Bahasa
Bahasa
suku Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau
dan bahasa Rejang. Sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya
terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, namun juga mengambil
bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa, dan Bugis. Perbedaan varian
bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada suku Pekal.
Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan suku
Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah
suku Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada
bahasa Rejang. Jika mendekati wilayah budaya Minangkabau, dialeknya akan
mengarah pada bahasa Minangkabau.
Budaya
Tradisi
dan budaya Pekal ini banyak dipengaruhi oleh dua budaya lain seperti
dari budaya Minangkabau dan budaya Rejang. Sepertinya mereka sangat
mudah menyerap tradisi dan budaya dari luar, dan menerimanya menjadi
bagian dari budaya mereka sendiri. Saat ini sangat susah mencari akar
budaya dari suku Pekal, Karena sebagian besar mereka ambil dari tradisi
dan budaya dari luar mereka.
Suku Pekal
adalah pemeluk Islam secara mayoritas. Beberapa acara adat dan seni
budaya mereka juga terlihat unsur Islami. Walaupun mereka telah memeluk
Islam, tetapi beberapa kepercayaan terhadap hal-hal
animisme dan
dinamisme masih terlihat dalam kehidupan masyarakat suku Pekal. Mereka mempercayai hal-hal
gaib dan tempat-tempat keramat yang konon dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan mereka.
Rumah
adat masyarakat suku Pekal itu sendiri tidak berbeda dengan rumah adat
dengan suku lainnya yang ada di Bengkulu, yaitu rumah panggung.
Sedangkan untuk senjata suku Pekal yaitu keris, tombak, dan parang. Baik
yang dianggap sebagai benda keramat dan juga digunakan sebagai senjata
untuk berburu hewan serta digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang
lainnya. Makanan khas dari Suku Pekal itu sambal unjang. Sambal unjang
adalah makanan yang dimasak dalam bambu dan isinya ikan dicampur dengan
rempah-rempah. Ikan itu dihancurkan bersamaan dengan bumbu-bumbu dan
diletakkan di atas api dan di atasnya ditutup dengan daun pisang. Hampir
sama dengan cara memasak
lemang ataupun memasak ikan pais, namun yang membedakannya ikan pais menggunkan daun pisang kalau sambal unjang menggunakan bambu.
Mata pencarian
Masyarakat
suku Pekal ini rata-rata hidup dan berprofesi sebagai petani pada
perladangan dan perkebunan. Beberapa dari masyarakat suku Pekal juga
telah bekerja pada sektor swasta dan sektor pemerintahan. Suku Pekal 80%
mata pencariannya merupakan petani, yakni mayoritas berkebun
karet dan
kelapa sawit.
Dari mata pencarian ini terlihat bahwa suku Pekal pada masa sekarang
berada pada tingkatan peradapan pertanian. Teknik ini merupakan
ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap. Ada jugamasyarakat
suku Pekal yang berada di pesisir pantai yang memanfaatkan hasil
laut sebagai
nelayan. Ada juga sebagian dari masyarakat suku Pekal juga bekerja di tambang
batu bara dan di tambang
emas rakyat di desa
Lebong Tandai yang dikenal dengan tambang emas Lebong Tandai.
Sistem kekerabatan
Sistem
kekerabatan suku Pekal sangat erat antar sesama masyarakat suku Pekal.
Berbeda dengan orang yang baru mereka kenal, mereka akan melihat apakah
orang tersebut baik atau tidak. Jika orang tersebut baik maka mereka
akan menganggap orang tersebut seperti saudaranya sendiri, namun jika
kelakuan orang buruk maka mereka akan menjauhinya.
Pernikahan
Dalam adat suku Pekal, wanita itu dijujur
atau dibeli oleh laki-laki, kebalikan dari adat suku Minang. Jika
seorang wanita itu sebelum menikah akan dimandikan dengan uang logam dan
disumpah, maka wanita itu telah dijual kepada calon suaminya dan wanita
itu telah menjadi hak dari suaminya. Uang yang berasal dari pembelian
adiknya tadi juga dipakai oleh kakaknya untuk membeli wanita yang akan
jadi calon istrinya. Adat ini mulai hilang dan jarang lagi ditemui
karena perubahan zaman.
Proses pernikahan suku pekal adalah sebagai berikut:
Melamar atau baasan
Biaya adat
Menikah
Berarak (supaya orang-orang tahu bahwa akan ada yang menikah maka acara arakan ini wajib tidak boleh ditinggalkan).
Duduk di kursi di tengah laman dikelilingi oleh orang banyak dan diiringi dengan tarian
pencak silat.
Kembali ke pelaminan.
Minum
punai untuk orang yang menolong dalam menyiapkan pernikahan, yaitu pada pagi hari.
Makan besak maksudnya hari puncak dengan makan-makan bersama pada sorenya.
Setelah selesai acara pernikahan, besok harinya diadakan
ngubak basung atau
doa (balik bahasa).
Adat pulang bukti gadis, ini adalah adat yang menyatakan kesediaan menerima perempuan yang dinikahi jika masih
perawan. Pada adat ini sang
suami
memberikan seperai atau alas tidur saat malam pertama kepada ibu si
perempuan sebagai tanda anaknya masih suci. Jika tidak suci lagi, sang
laki-laki berhak mengembalikan anak gadisnya yang tidak dapat menjaga
kesuciannya. Si lelaki berhak membatalkan
pernikahan. Ini menandakan betapa tinggi masyarakat suku Pekal menganut ajaran
agama Islam yang sejati.
Agama
Masyarakat
suku Pekal mayoritas beragama Islam, namun masyarakat suku Pekal masih
percaya terhadap roh-roh nenek moyang atau memelihara makhluk gaib
seperti harimau. Menurut mereka, seorang warga Pekal yang sudah
meninggal nantinya akan berubah menjadi seekor harimau. Jadi ada sebuah
ritual yang dilakukan oleh masyarakat suku pekal jika sawah atau ladang
mereka dirusak oleh
babi. Dalam ritual tersebut masyarakat Pekal memberikan
sesajen di daerah sawah atau ladang mereka yang dirusak oleh babi tersebut. Sesajen itu berapa
tujuh telur ayam kampung yang diletakkan
bidai
(anyaman bambu) dan diiringi oleh mantera-mantera. Mereka percaya bahwa
sesajen yang mereka berikan akan dimakan oleh roh-roh nenek moyang
mereka. Menurut kepercayaan bahwa roh-roh nenek moyang mereka akan
berubah menjadi harimau untuk mengusir babi. Setelah mereka melakukan
ritual itu maka biasanya pada malamnya memang terdengar suara harimau
dan itu sangat dipercayai oleh suku Pekal. Jadi, sawah atau ladang
mereka tidak perlu dijaga lagi karena sudah dijaga oleh harimau. Acara
keagamaan suku Pekal sama seperti acara keagamaan suku-suku lainnya yang
ada di Bengkulu seperti
zikir dan berdendang.
Kesenian
Ada
tari gandai yaitu tarian bartautan yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dari suku Pekal asli. Jika dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan secara berpasangan yang berasal dari suku Pekal asli maka
disebut tari gandai ambat. Tarian yang dilakukan secara bergantian
menunjukkan aksi dan kehebatan mereka, biasanya tari ini diiringi oleh
redap, serunai, gong yang merupakan alat musik tradisional dari suku
Pekal. Ada tiga jenis tarian gandai yaitu leluen, nenet, dan sementaro.
Tarian gandai ini wajib ditampilkan saat pesta pernikahan, namun bisa
juga ditampilkan pada saat upacara penyambutan tamu dari pejabat-pejabat
atau orang penting yang datang. Lagu daerahnya yaitu berpantun